Salah satu klien saya bercerita panjang bahwa atasannya jahatnya setengah mati. Lebih dari drakula, kata dia. Ia menjelaskan sangat rinci tentang kejahatan itu. Banyak sekali yang ia ceritakan, saya hanya membeberkan beberapa butir saja.
Pertama, atasannya tak menyukai ada "persahabatan" di antara para pekerja. Menurut klien saya, atasannya itu ingin menciptakan suasana kompetisi. Alasannya, karena di luar kantor pesaing begitu banyaknya, jadi setiap orang harus dilatih berkompetisi. Namun, sayang seribu sayang, kompetisi itu berubah menjadi persaingan yang benar-benar bersaing, sampai menimbulkan permusuhan di antara beberapa departemen.
Kedua, mulut dan pikiran sang atasan itu sangat menyakitkan. Meminjam istilah klien saya, mulutnya enggak pernah disekolahin. Suatu hari klien saya melakukan kegiatan di Kota Buaya. Sebagai bawahan, ia berniat baik melaporkan kegiatan yang sukses di Kota Pahlawan itu. Maka, ia mengirimkan SMS kepada si bos, menjelaskan semua kegiatan berlangsung supertokcer. Sayang sejuta sayang, niat baiknya itu tidak mendapat balasan setimpal. SMS mulia itu dibalas dengan kalimat, "Kamu enggak usah SMS-SMS saya, saya lebih suka di-SMS sama karaoke girl."
Bahasa yang membunuh
Klien saya yang sudah seperti teman itu bercerita terus. Wah…, kalau saya mau menuliskan ceritanya itu, mungkin minggu ini saya memerlukan satu halaman untuk rubrik ini. Maka, daripada mendengar kejahatan bosnya, mari mendengarkan kejahatan yang saya lakukan. Tak terlalu beda banyak. Karena sepanjang klien saya menceritakan keluh kesahnya, saya seperti diingatkan pada sesuatu. Apalagi kalau tidak perilaku saya sendiri. Anda mau bukti?
Cobalah Anda iseng-iseng mengklik situs http://community.kompas.com, atau kalau Anda malas mengklak-klik-klak-klik karena sekarang hari Minggu dan waktunya untuk leyeh-leyeh dan Anda merasa saya memberikan pekerjaan rumah di tengah waktu senggang Anda yang berharga itu, yaaa... saya saja yang mengalah. Di bawah ini saya tuliskan komentar seseorang atas tulisan saya berjudul Juri, dua minggu lalu.
"Saya ingat waktu jadi finalis LPM (Lomba Perancang Mode) sekitar tahun 1997, saya kasih Anda baju, waktu itu Anda masih di Femina. Saya bela-belain datang dari Bandung (saya masih kuliah) untuk membawa hasil karya saya. Saya begitu sopan menegur Anda dan menanyakan di mana baju ini harus diletakkan dan saya menanyakan proses selanjutnya…. Saya hanya mengenang raut muka Anda yang cuek dan tidak mau melihat muka saya, apalagi karya baju saya…. Anda hanya menunjuk ke arah salah satu meja seseorang untuk menaruh baju saya, setelah itu Anda sibuk on-line. Walaupun akhirnya saya tidak menang, yang saya kenang dan melekat di hati sampai kini… ya raut muka dan sikap Anda waktu itu…. Benar-benar sombong dan menyepelekan orang."
Begitulah saya. Saya telah banyak melukai orang. Tidak dengan pisau, tidak dengan mulut, bahkan saya mampu menjengkelkan orang dan membunuh semangat orang hanya dengan tatapan dan bahasa tubuh yang sombong dan menyepelekan. Mungkin ini yang disebut singkat dan akurat. "Singkat dan kualat," celetuk teman saya.
Sore hari saya bertemu dengan seorang calon pegawai. Setelah wawancara, kami menjadi akrab. Tentu salah satu pertanyaan yang saya ajukan adalah mengapa ia berkeinginan pindah kerja.
"Bosku tuh, Mas, kalau sudah marah nakutin. Enggak usah marah, ngeliat dia ada di kantor saja aku dan teman-teman sudah stres. Jadi pengen nyari suasana yang tak menekan. Kami senang sekali kalau beliau ke luar negeri, rasanya bebas, tak ada yang membuat stres," kata dia menjelaskan.
Setelah saya mendengar cerita calon pegawai ini, saya seperti disinggung habis. Komentar di atas menggambarkan betapa jahatnya saya, bukan? Hanya dengan tatapan dan dengan kehadiran saya saja, saya bisa membuat orang stres dan tersakiti sampai hari ini. Bayangkan kalau mulut saya juga berkicau. Saya jadi mulai berpikir, mengapa saya tega melakukan hal-hal dan atau berperilaku menyakitkan manusia. Yang membuat manusia menangis dan stres?
Upil
Tepatnya, mengapa saya menciptakan citra untuk dibenci orang. Setelah saya pikir sekarang, kok saya itu bisa punya cita-cita untuk dibenci dan bukan dicintai orang? Sampai sekarang saya sendiri enggak pernah mudeng.
Tak lama setelah itu seorang pengusaha bercerita dalam mobilnya. Dalam perjalanan mengantar saya pulang, ia bercerita, pesaingnya di bisnis yang sedang dia jalani itu melakukan hal-hal yang nyaris membinasakan usaha yang dia rintis. Pesaing raksasanya itu sampai perlu menyusupkan dua orang di kantornya. Saya geleng kepala tak habis mengerti bagaimana perusahaan seraksasa itu bisa melakukan tindakan yang tak hanya kurang ajar, tetapi juga tak percaya diri itu. Saya jadi ingat cerita Daud melawan Goliat.
"Yaahh… karena kelamaan monopoli kali ya, jadi ada pendatang baru merasa terancam. Padahal, kan, gue ini cuma upil," katanya lagi. Saya tertawa dalam hati, kalau dia cuma upil, terus bagaimana hidungnya.
Saya masih di dalam mobil, menyandarkan badan saya di jok depan. Mata saya menatap ke luar, melihat lalu lintas Jakarta yang macet yang entah kapan akan berakhir. Dalam benak, saya mencoba menyimpulkan cerita-cerita di atas. Semua yang mereka ceritakan telah saya jalani. Saya mengaku saya ini beragama, dan sebagai warga negara yang baik saya menjunjung Pancasila dengan sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa. Tetapi, bagaimana saya yang memiliki dua prinsip mulia itu melakukan tindakan yang membuat orang sengsara?
Suara hati saya sendiri tiba-tiba nyeletuk, "Itu bukan prinsip lo lagi. Itu prinsip agama dan Pancasila. Lonya mah enggak punya prinsip, makanya lo jadi kayak begitu."
KILAS PARODI: Untuk Para Raksasa dan Para Upil
1. Bagi mereka yang merasa seperti raksasa yang tidak percaya diri, janganlah melakukan tindakan seperti cerita teman saya itu. Tanyakan saja, mengapa sebagai raksasa Anda sampai harus melakukan tindakan menyakitkan dan membinasakan orang? Mengapa sepenting itu menjadi raksasa dan memonopoli, tetapi hanya melihat para upil Anda sudah keder? Jangan sampai Anda hanya besar saja, tetapi self esteem Anda sekerdil para kurcaci di cerita Sleeping Beauty.
Mengapa susah sekali membiarkan orang hidup dan membiarkan orang juga mau makmur? Bukankah waktu Anda masih menjadi bayi raksasa Anda juga berkeinginan seperti para upil itu. Tidakkah Anda bisa mengingat kembali saat Anda menjadi upil raksasa? Mungkin Anda bisa mengingat, tetapi Anda mencoba menghapus ingatan itu. Jangan, jangan oh raksasa. Jangan sampai Anda hilang ingatan.
2. Bagi para upil, ingat, Anda bisa saja disusupi orang untuk menghancurkan perusahaan Anda, mematikan hidup Anda, tetapi kepala Anda harus tetap jernih. Selain konsentrasi kepada upil Anda, konsentrasi juga pada pemikiran bahwa Yang Maha Kuasa yang mendatangkan berkat, bukan upil Anda. Jadi, ada raksasa atau tidak, disusupi atau tidak, dijegal atau tidak, berkat Anda tak akan hilang kalau itu sudah maunya Yang Maha Kuasa. Percaya saya, tak ada manusia yang mampu menghalangi berkat Anda dari Sang Maha Kuasa.
3. Teman saya mengeluh pimpinannya sering marah-marah dengan perkataan kasar, padahal teman saya dan teman sekerjanya tak melakukan kesalahan apa pun. "Si bos itu, Mas, kalau punya problem sama orang lain, terus mengumpatnya ke kita-kita. Pokoknya kita sudah kayak tempat sampahnya," kata teman saya.
Waduh, itu mirip benar dengan saya. Karena saya pernah di tempat seperti itu, maka saya sarankan, yang suka membuat orang lain menjadi tong sampah jadilah dewasa karena itu satu-satunya cara mengontrol emosi Anda.
4. Dewasa itu berarti Anda mampu melihat kembali mengapa Anda tega membunuh dengan perkataan, hanya dengan bahasa tubuh, atau bahkan hanya dengan kehadiran Anda? Mengapa Anda senangnya menjadi serakah? Dalam kasus saya, saya ini manusia penuh iri hati, saya tidak bahagia dengan diri saya sendiri. Maka, bagaimana ada manusia yang tidak bahagia dengan dirinya sendiri dan iri hati bisa mengeluarkan bunyi-bunyian dan bersikap membahagiakan, bukan?
Samuel Mulia
Read More......