Itu kalimat yang ditulis tokoh oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, di blog-nya Minggu lalu seperti dilansir situs Yahoo Indonesia. Saya sendiri belum membaca blog itu. Pak Anwar mengaku takut karena Pemerintah Malaysia berniat membunuh dia. Kemudian untuk sementara waktu, Pak Anwar ”kos” di Kedutaan Besar Turki.
Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya kalau hidup dan mati bukan di tangan Tuhan, tetapi di tangan sesama manusia yang punya keberuntungan lebih kuat, lebih berkuasa, lebih segalanya sehingga mampu membuat jantung seseorang berdetak keras. Saya membayangkan seandainya saya punya kesempatan menjadi lebih kuat dan berkuasa, waduh Tuhan pasti punya saingan berat.
Tak hanya itu, saya bahkan akan menyejajarkan diri seperti Tuhan karena sama-sama mampu mencabut nyawa orang. Mungkin, kalimat hidup-mati di tangan Tuhan tak selamanya benar. Karena sebelum Tuhan, manusia bisa menyalib. Atau mungkin memang itu salah satu cara dari sejuta cara Tuhan meng-game-over-kan orang. Seperti beberapa waktu lalu, saya membaca di koran ada seorang anak tewas dimakan anjing. Saya kemudian berpikir, apakah itu cara Tuhan?
Yang kuat & yang lemah
Well, saya tak akan membahas Sang Khalik, tak mau juga berbicara soal bagaimana cara setiap orang akan di-game-over-kan. Meski sejujurnya setelah saya hidup sekian puluh tahun, melihat begitu banyak cara manusia meninggalkan dunia yang fana ini, saya sempat nyeplos bertanya kepada Tuhan, bagaimana Ia akan memilihkan cara buat saya game-over. Tenang sambil tiduran, atau nyemplung di laut dari ketinggian sekian ribu kaki, atau seperti Pak Anwar yang akan dibunuh sesama manusia yang tingkat kebuasannya bisa jadi sama dengan binatang buas?
Hari ini, saya mau membahas rasa takut dan pembunuhan itu. Sejak dahulu saya takut dengan mereka yang lebih kuat, lebih berkuasa. Saya takut kepada polisi. Di mata saya, seragam yang dikenakan sudah menunjukkan kekuasaan.
Waktu saya diolok-olok teman di sekolah dasar sampai universitas, saya jengkel, tetapi tak berdaya. Mereka terlalu kuat bagi saya. Kadang mereka tak sendiri, tetapi berkelompok. Itu menakutkan, satu melawan empat orang. Maka, saya tak bisa membayangkan, seperti dikatakan Pak Anwar, dia bakal ”dikeroyok” pemerintah. Maka, bisa dimengerti ia berujar, ”Saya takut dibunuh.”
Saya jadi ingat, pada zaman SMP dan SMA dahulu. Ada saja yang dianggap kelompok kuat yang akan menekan yang lemah, yang berkuasa di luar jam sekolah, tetapi tak berdaya di dalam sekolah. Yang memalak di luar pekarangan sekolah dan mengancam kalau tak diberi contekan. Itu hanya satu kasus yang menggambarkan ada yang kuat, yang berkuasa, dan ada yang berperan sebagai yang lemah dan yang ketakutan.
Saya dahulu berpikir dengan naif atau karena bodoh—saya sendiri tak tahu—yang kuat harus melindungi yang lemah, seperti Robin Hood, seperti Superman dan Robin. Ternyata tak selalu demikian adanya. Saya berpikir, kalau saja yang kuat mau sejenak menempatkan diri di sisi yang tak berdaya. Tetapi, saya pikir saya sedang mimpi siang hari karena mungkin susah menempatkan diri sebagai yang lemah kalau ada dalam posisi begitu kuat.
Pembunuhan itu berbagai macam bentuknya. Beberapa waktu lalu saya diceritai, teman saya punya teman pebisnis yang koaya dan roaya setengah mati. Pebisnis ini memberi nasihat kepada teman saya, ”Kalau ada pesaingmu, sebaiknya kamu membinasakan mereka jauh sebelum pesaingmu ada di pasar.” Saya membayangkan, si pebisnis itu menyarankan membunuh janin di kandungan sebelum ia keluar. Sebelum si ”janin” kemudian mengganggu dan membuat dia tak bisa memonopoli.
Seperti Hitler
Kemudian saya membayangkan diri saya sendiri. Apakah benar saya juga lemah? Mungkin saya lemah, klemar-klemer, tetapi saya juga membuat orang takut karena saya juga seorang pembunuh. Tidak dengan racun dan senjata tajam atau merekayasa sebuah kecelakaan seperti dalam film-film Hollywood, tetapi dengan mulut seperti silet, membuat tulisan yang bisa membunuh orang, yang merekayasa cerita-cerita miring yang sama sekali tak ada benarnya.
Mengapa saya takut dibunuh? Karena saya tak berbuat yang benar. Jadi, kalau saya memang berbuat kekeliruan, saya pasti takut. Orang yang hidup dalam kebenaran dan melakukan yang baik tak ada alasan menjadi takut. Bahkan, saat mereka direkayasa dengan menaruh narkoba di tas mereka, atau tiba-tiba ada uang bermiliar rupiah masuk ke rekening koran, atau dibunuh karena terlalu banyak tahu.
Pembunuhan yang saya lakukan mungkin menyenangkan saya. Tetapi, saya lupa, kalaupun saya berhasil membunuh mereka secara fisik, saya toh tetap tak bisa membunuh jiwa mereka, cara pandang mereka, isi kepala mereka, filosofi hidup mereka. Kalau sudah demikian, apalah artinya kemenangan dari sebuah pembunuhan fisik?
Bukankah yang membuat saya jengkel hingga membunuh bukan gara-gara fisiknya, tetapi isi kepalanya? Cara pandangnya? Sesuatu yang di dalam, yang tak bisa saya matikan. Seperti Hitler, ia memasukkan ciptaan Tuhan di kamar gas. Mereka memang tewas, Hitler bisa jadi puas. Tetapi, apakah Hitler mematikan keyahudian di dalam jiwa mereka yang membuatnya berang?
Jadi, kalau saya membunuh secara fisik sehingga mereka tak lagi ada di hadapan saya, bisa jadi saya senang, tetapi sebetulnya saya tak memenangi apa pun. Mereka tetap binasa dengan sesuatu yang mereka percayai itu benar, yang menjengkalkan saya. Itulah hebatnya, mereka mengalahkan saya dengan kekuatan dari dalam, meski memiliki ketidakberdayaan di luarnya.
Maka, mungkin Pak Anwar tak perlu takut kepada manusia yang hanya bisa membunuh secara fisik, yang tidak memiliki keberdayaan membunuh konsep berpikirnya yang di dalam. Kepada Tuhan mungkin ia sebaiknya takut karena Sang Khalik tak hanya bisa membunuh fisik, tetapi jiwanya sekalipun.
Saya Bertanya, Anda Menjawab
Biarlah sekali-kali saya bertanya. Saya mengajukan pertanyaan di bawah ini, Anda menjawab sambil sarapan pagi hari, atau habis bangun jam dua siang atau sebelum tidur lagi jam sepuluh malam.
1. Percayakah Anda Tuhan itu ada dan yang akan menghakimi Anda kelak sesuai apa yang Anda tabur di dunia ini?
2. Buat Anda siapakah Tuhan?
3. Apakah Anda beragama? Kalau tidak, coba cek apa yang tertulis di KTP Anda pada kolom agama? Kosong atau ada isinya? Kalau ada isinya, kok bisa?
4. Kalau Anda percaya Tuhan itu ada dan Anda beragama, kok bisa Anda menjadi pembunuh manusia yang merupakan ciptaan Tuhan? Kok Anda bisa merasa lebih berkuasa sehingga membunuh ciptaan Tuhan?
5. Coba jelaskan, Anda beragama, dan saya yakin agama mana pun mengajarkan kasih, mengampuni, kok Anda bisa begitu susah mengampuni dan mudah menjadi pembunuh?
6. Mengapa Anda memilih menjadi pembunuh?
7. Mengapa Anda senang sekali melihat orang sengsara?
8. Mengapa Anda tak senang melihat orang memiliki perbedaan pandangan dengan Anda dan Anda kemudian merasa terancam karenanya? Kalaupun Anda merasa terancam, tidakkah Anda mau berpikir sejenak, Anda juga mungkin pernah membuat pesaing terdahulu Anda merasa terancam seperti yang Anda rasakan sekarang?
9. Kalau ada oposan, mengapa Anda melihatnya dari kacamata yang negatif bahwa mereka tidak suka atau mengancam hidup Anda? Mengapa Anda tak melihat oposan itu sebagai salah satu cara Tuhan memperingatkan Anda kembali ke jalan yang benar, supaya ketika Tuhan memanggil Anda, Anda tidak dalam situasi yang tidak berkenan kepada Sang Khalik? Jadi, mungkin, seharusnya Anda berterima kasih ada yang namanya oposan itu.
10. Berdamailah dengan diri Anda. Setelah itu berdamailah dengan semua orang. Dunia akan menjadi lebih indah sebagai tempat untuk dihuni. Maukah Anda mewujudkannya? Coba menjawab pertanyaan terakhir ini spontan, jangan memberi alasan.
Mau atau tidak. Titik. Tak ada tetapi.
Samuel Mulia - Penulis Mode dan Gaya Hidup
Ngumpul yuk!
Read More......