E T I K A
Hari-hari ini saya semakin sering naik kereta api yang menyusuri jalur Serpong ke Jakarta. Kondisinya sudah jauh berubah sejak jalur ganda dioperasikan beberapa waktu lalu. Lebih nyaman dan cepat.
Yang menarik perhatian saya, dengan jadwal yang semakin teratur, adalah perubahan sikap penumpang. Para penumpang, tua-muda, laki-perempuan, tidak bisa lagi berleha-leha saat kereta api berhenti. Mereka harus sigap untuk naik dan turun di setiap stasiun. Beda dengan dulu, saat kereta yang penuh berhenti, penumpang di dalam kepanasan sehingga mereka menunggu di luar dan buru-buru naik ke atap kereta saat kereta jalan.
Yang menarik perhatian saya, dengan jadwal yang semakin teratur, adalah perubahan sikap penumpang. Para penumpang, tua-muda, laki-perempuan, tidak bisa lagi berleha-leha saat kereta api berhenti. Mereka harus sigap untuk naik dan turun di setiap stasiun. Beda dengan dulu, saat kereta yang penuh berhenti, penumpang di dalam kepanasan sehingga mereka menunggu di luar dan buru-buru naik ke atap kereta saat kereta jalan.
Kesigapan penumpang kita seperti menandakan perubahan ke arah lebih baik. Mereka semakin efisien menggunakan waktu untuk transportasi. Dalam hal ini saya teringat sebuah penelitian yang menyebutkan bahwa pejalan kaki di Singapura merupakan pejalan kaki yang tercepat. Dengan fasilitas pejalan kaki yang tersedia di sana, kegiatan berjalan kaki yang memakan kalori bisa dilakukan dengan nyaman. Jangan bandingkan dengan di sini, cepat sih bisa, tapi soal nyaman?
Saya tidak tahu apakah ada korelasi antara fasilitas pejalan kaki dan kemajuan suatu negeri. Yang pasti, pejalan kaki, baik pebisnis atau pewisata, memang memadati sarana untuk pejalan kaki di kota kecil itu, dan turis terus berdatangan.
Sementara, di luar stasiun, tiba-tiba kenikmatan saya mengamati aktivitas penumpang, pudar seketika. Melewati pinggiran jalan, saya mulai berhitung, apakah akan selamat tiba di kantor saat menyusuri jalan yang tanpa trotoar. Waduh…
Di layar televisi saya melihat pakar perkotaan menjelaskan bahwa berlalu lintas itu ada etikanya. Pejalan kaki merupakan kasta tertinggi yang harus didahulukan, setelah itu orang yang berkendara dengan alat tak bermesin, seperti sepeda. Kemudian kendaraan bermotor yang kecil, dan setelah itu kendaraan bermotor yang lebih besar.
Saya acap mendengar, teman atau keluarga pemakai mobil yang suka menyalahkan motor di tengah kemacetan jalan ibu kota. Bahkan ada pula yang mulai menyalahkan sepeda. Saya pikir, tidak perlulah. Selain soal etika di atas, juga terimalah dengan lapang dada bahwa kemampuan jalan kita sudah overload. Banyak-banyaklah berdoa di jalan seperti pesan istri saya. Jika tambah emosional, sangat berbahaya buat anda dan pengguna jalan lain.
Selain itu, sebaiknya pemerintah memperbaiki fasilitas buat pejalan kaki, karena semua moda transportasi pada akhirnya akan berujung pada jalan kaki. Jika anda mengabaikan fasilitas ini, rasanya seperti anda mengabaikan ujung perjalanan anda.
Erwin Zachri
ScRatChSouL said :
gue salah satu pecinta jalan kaki...
kalo trotoar yang kita mengerti selama ini adalah berfungsi utk pejalan kaki,
sekarang ini TIDAK BERALAKU lagi.
trotoar berubah menjadi multi, "ragam", "macem2" fungsi...
selain semua kendaraan bermacam roda bisa tumplek disitu, juga bisa utk lahan mencari nafkah,ajang "fashion show",sampe buat "bed rest" de el el...de el el....
weleh...kasihan bener SANG PEJALAN KAKI !!! saling pengertian??? ZAPEE DECCH!!!
0 comments:
Post a Comment