Pria, Pahlawan Yang Terluka
Kebanyakan pria lebih memilih mati daripada dihina di depan umum. Hanya sedikit wanita yang mengerti betapa kuatnya perasaan seorang pria mengenai hal ini. Sejak kecil, pria belajar tentang prinsip untuk bertingkah laku tertentu. Pria jarang berbicara secara terbuka mengenai peraturan ini, tetapi pria juga jarang berbicara terbuka tentang masalah yang sangat pribadi. Peraturan itu ada, merasuk sampai ke tulang-tulangnya dan diperkuat oleh budaya dalam ratusan cara yang halus maupun tidak halus. Pria hidup dengan peraturan ini walaupun mereka tidak dapat mengatakannya. Walaupun mereka tahu peraturan itu tidak rasional, tidak realistis, dan tidak sehat.
Peraturan itu berbunyi seperti ini: Pria tak pernah gagal, pria selalu kuat, pria tidak menunjukkan kelemahan mereka, pria harus memimpin, pria tidak boleh menangis, pria menyimpan masalah mereka sendiri, pria tidak meminta pertolongan, pria harus benar, pria melindungi diri mereka dengan segala cara, dan pria tidak tergantung pada orang lain.
Walaupun kebanyakan pria akan tetap menolaknya, mereka juga terluka seperti wanita. Kenyataannya, pria kerap kali lebih mengambil hati peristiwa kehilangan, ditolak dan gagal daripada wanita. Walaupun begitu, pria mungkin lebih bisa menutupi luka-luka mereka dan menyimpan kepedihan itu di hati, sementara wanita lebih mudah menghadapi luka-luka mereka dan membiarkan rasa sakit hati itu keluar. Karena itu, pria cenderung mengalami luka lebih lama, dan luka mereka tidak sembuh sempurna.
Oleh karena itu, kebanyakan pria tidak menyukai segala bentuk konseling. Ketika sepasang suami istri datang ke kantor saya untuk kali pertama, sang suami biasanya merasa enggan. Ketika saya menanyai sang suami mengapa ia datang ke sini, ia biasanya mengatakan seperti ini, "Istri saya yang membuat janji" atau "Saya tidak tahu kenapa saya harus datang ke sini" atau "Karena istri saya memaksa" atau "Istri saya berpikir bahwa pertemuan ini penting" atau "Akan timbul masalah besar jika saya tidak ikut" atau "Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan oleh istri saya."
Apabila saya menanyai sang istri mengapa ia datang ke sini, ia biasanya memberikan jawaban yang hati-hati, daftar yang detail mengenai kesulitan-kesulitan besar maupun kecil yang mereka hadapi dalam pernikahan. Ia mengatakan kepada saya kapan timbulnya setiap persoalan, dan bagaimana mereka berdua telah berusaha memecahkannya.
Ketika sang istri berbicara, sang suami kelihatannya sangat tidak nyaman. Sang suami mungkin menyangkali hal-hal yang detail, tetapi biasanya ia setuju tentang masalah-masalah besar. Ketika sang istri selesai, saya berbalik kepadanya dan berkata, "Anda sungguh beruntung. Suami Anda pasti sangat mencintai Anda, sehingga ia mau meninggalkan zona nyamannya dan datang ke pertemuan ini bersama Anda. Saya harap Anda tahu bagaimana sulitnya hal ini baginya."
Kemudian, saya berbalik kepada sang suami dan berkata, "Keberanian Anda layak dicungi jempol. Saya senang Anda ke sini demi pernikahan Anda. Saya tidak hendak mempermalukan Anda untuk kesalahan yang telah dilakukan oleh Anda maupun istri Anda. Saya di sini akan melatih Anda sehingga dapat bermain dengan lebih baik dalam pertandingan. Setiap atlet yang baik memerlukan pelatih yang menolongnya untuk menggapai yang terbaik." Pada saat itu, biasanya sang suami menjadi amat santai dan siap berbicara. Ia mau mengambil resiko karena saya telah mengakui keberaniannya dan saya berbicara dalam bahasa pria.
Pria cenderung tidak mau membicarakan luka hati atau persoalan mereka, kecuali jika hal-hal itu menjadi di luar kontrol, sehingga tidak ada pilihan lain. Mereka berbicara secara terbuka tentang kesulitan mereka dengan resiko malu dan kehilangan rasa hormat. Oleh karena itu, mereka tetap menjaga hal itu secara pribadi dan menolak membukanya. Mereka tidak pergi ke konselor, dokter atau pendeta untuk membicarakan masalah-masalah pribadi kecuali kalau terpaksa. Wanita berkata, "Mari kita bahas masalah ini dari awal dan mengatasinya sebelum menjadi besar." Pria cenderung berkata, "Ini bukan masalah besar. Mari kita tunggu dan kita lihat apakah masalah ini akan terpecahkan sendiri."
Menceritakan rasa sakit dan perjuangan mereka merupakan salah satu cara bagi wanita untuk berhubungan satu sama lain dan membangun ikatan persahabatan. Ini adalah kesempatan untuk menguatkan, menyemangati dan saling mengenal. Wanita yang lain biasanya akan datang berempati dan memperkuat yang menderita. Wanita melihat berbagi sebagai unsur yang luar biasa positif. Kaum wanita memang tidak akan asal membicarakan masalahnya kepada siapa saja, tetapi mereka punya lebih banyak orang yang bisa dipercaya daripada kebanyakan pria. Wanita lebih mudah percaya dan menganggap orang lain berkata jujur walaupun bisa saja orang tersebut sebenarnya berbohong.
Wanita mengasumsikan yang terbaik. Apabila seseorang mengkhianati mereka, mereka akan mengeluarkan orang itu dari daftar mereka. Pria cenderung mengasumsikan yang terburuk dan mereka hanya menyimpan daftar beberapa orang saja. Mereka melihat setiap orang sebagai pengkhianat potensial yang siap menggunakan informasi pribadi untuk merusak, meremehkan atau menghancurkan mereka. Mereka melihat kehidupan sebagai pertandingan; menunjukkan kelemahan akan menguntungkan musuh secara tidak adil. Kaum pria percaya bahwa satu-satunya cara untuk mempercayai orang adalah dengan memperhatikan mereka, mempelajari mereka, mengetes mereka, mendengar mereka, mengetes mereka lagi... dan kemudian mungkin mempercayai mereka. Tetapi mungkin saja tidak.
Pria melindungi hati mereka. Bukannya menunjukkan rasa luka dan kegagalan mereka, mereka justru menjadi marah, mengontrol, atau menuntut. Ketika pria merasa rentan, mereka acapkali menjadi sangat defensif. Kerap kali mereka melakukan kompensasi yang berlebihan akan kemaskulinannya sehingga menyingkirkan orang lain. Atau mereka mungkin menenggelamkan diri dalam pekerjaan, hobi, proyek-proyek, olahraga, televisi, kecanduan, atau hampir semua hal yang menciptakan jarak dari penyingkapan yang potensial.
Jadi bagi Anda para istri, Anda harus benar-benar mengerti jika suami Anda sangat enggan untuk membuka diri sebenarnya itu berarti, "Aku sangat takut akan resiko untuk mudah diserang." Sedangkan bagi Anda para suami, Anda harus mengerti bahwa kerelaan istri Anda untuk mengatakan permasalahannya di depan umum sebenarnya berarti, "Aku memerlukan hubungan dengan orang, terutama dengan kamu."
Sumber : DR. Steve Stephens – Lost In Translation