Pages

BeatMaster Radio

Free Shoutcast HostingRadio Stream Hosting

Feb 15, 2006

The Holy Alphabeth

Although things are not perfect
Because of trial or pain
Continue in thanksgiving
Do not begin to blame
Even when the times are hard
Fierce winds are bound to blow
God is forever able

Hold on to what you know
Imagine life without His love
Joy would cease to be
Keep thanking Him for all the things
Love imparts to thee
Move out of "Camp Complaining"
No weapon that is known
On earth can yield the power
Praise can do alone
Quit looking at the future
Redeem the time at hand
Start every day with worship
To "thank" is a command
Until we see Him coming
Victorious in the sky
We'll run the race with gratitude
Xalting God most high
Yes, there'll be good times and yes some will be bad, but...
Zion waits in glory...where none are ever sad!

"I AM Too blessed to be stressed!"
The shortest distance between a problem and a solution is the distance between your knees and the floor.
The one who kneels to the Lord can stand up to anything.

Read More......

Jika Ia Sebuah Cinta

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak mendengar...
namun senantiasa bergetar....

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak buta..
namun senantiasa melihat dan merasa..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak menyiksa..
namun senantiasa menguji..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak memaksa..
namun senantiasa berusaha..

jika ia sebuah cinta....
ia tidak cantik..
namun senantiasa menarik..
jika ia sebuah cinta.....
ia tidak datang dengan kata-kata..
namun senantiasa menghampiri dengan hati..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak terucap dengan kata..
namun senantiasa hadir dengan sinar mata..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak hanya berjanji..
namun senantiasa mencoba memenangi..

jika ia sebuah cinta.....
ia mungkin tidak suci..
namun senantiasa tulus..

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak hadir karena permintaan..
namun hadir karena ketentuan...

jika ia sebuah cinta.....
ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan...
namun hadir karena pengorbanan dan kesetiaan...

Read More......

3 Hari Saja

Yang pertama: Hari kemarin.
Anda tak bisa mengubah apa pun yang telah terjadi.
Anda tak bisa menarik perkataan yang telah terucapkan.
Anda tak mungkin lagi menghapus kesalahan dan mengulangi kegembiraan
yang anda rasakan kemarin.
Biarkan hari kemarin lewat; lepaskan saja...

Yang kedua: hari esok.
Hingga mentari esok hari terbit,
Anda tak tahu apa yang akan terjadi.
Anda tak bisa melakukan apa-apa esok hari.
Anda tak mungkin sedih atau ceria di esok hari.
Esok hari belum tiba; biarkan saja...

Yang tersisa kini hanyalah hari ini.
Pintu masa lalu telah tertutup,
Pintu masa depan pun belum tiba.
Pusatkan saja diri anda untuk hari ini.
Anda dapat mengerjakan lebih banyak hal hari ini bila anda mampu memaafkan hari kemarin dan melepaskan ketakutan akan esok hari.

Hiduplah hari ini. Karena, masa lalu dan masa depan hanyalah permainan pikiran yang rumit.
Hiduplah apa adanya. Karena yang ada hanyalah hari ini, hari ini yang abadi.
Perlakukan setiap orang dengan kebaikan hati dan rasa hormat, meski mereka berlaku buruk pada anda.
Cintailah seseorang sepenuh hati hari ini, karena mungkin besok cerita sudah berganti.
Ingatlah bahwa anda menunjukkan penghargaan pada orang lain bukan karena siapa mereka, tetapi karena siapakah diri anda sendiri

Jadi, jangan biarkan masa lalu mengekangmu atau masa depan membuatmu
bingung, lakukan yang terbaik HARI INI dan lakukan sekarang juga

Sumber: Unknown

Read More......

Feb 10, 2006

Ketulusan Itu (Bukan) Milik Kita

Kebaikan hati seolah telah menjadi sesuatu yang terlalu mewah untuk kita miliki dan temui saat ini. Memilikinya ibarat menyimpan bara dalam genggaman. Kebaikan hati akan membuat kita tidak

'competitive' dalam dunia yang keras ini. Hati yang lembut dan lebih 'manusiawi' hanya akan menghambat kita dalam meraih sukses. Sebaliknya, hati yang 'tegaan' danlebih 'rasional' dianggap akan lebih melapangkan jalan keberhasilan.

Menemui kebaikan kini juga seolah semakin sulit. Kita semakin suka berprasangka atas kebaikan yang kita lihat. Tidak ada kebaikan yang tulus, semua pasti ada 'sesuatu' di baliknya. Tidak ada makan siang yanggratis. Bahkan kebaikan hati kini sering dituding sebagai penyebab keterpurukan dan nasib sial. Ketika seorang teman ngemplang tidak membayar hutang, orang-orang mempersalahkan saya. Saya dianggap 'terlalu baik' dan tidak berhati-hati sehingga mudah tertipu tampilan luar seseorang. Dan tidak ada seorangpun yang mempersalahkan teman yang ngemplang tersebut!

Berbagai kejahatan dari kelas teri hingga kelas kakap yang kita saksikan sehari-hari di media cetak dan televisi, semakin membekukan hati kita. Selalu waspada dan jangan pernah lengah. Berbaik hati hanya akan menurunkan kewaspadaan dan membuat kita tertipu dan celaka. Saya pun larutdalam arus besar itu. Sampai suatu ketika di akhir November lalu saya menonton sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi swasta.

Di acara tersebut seorang aktor akan berlakon sebagai orang yang membutuhkan pertolongan. Lalu ia akan meminta tolong pada semua orang yang ditemuinya secara acak. Orang yang memberi pertolongan akan mendapatkanhadiah. Semua kejadian di rekam oleh kamera tersembunyi sehingga diyakinibahwa orang yang menolong itu benar-benar tulus.

Pada edisi itu, ditampilkan seorang nenek tua yang kumal dan lusuh penampilannya, dan diskenariokan meminta minyak tanah ala kadarnya untuk memasak. Sang nenek pun berkeliling dari pintu ke pintu, lengkap sambil menenteng kompor dan jerigen minyak yang juga tak kalah kumalnya dengan penampilan si pemilik.

Bertemu orang pertama, sang nenek ditolak secara halus. Berikutnya, di sebuah warung kelontong yang cukup besar dan ramai, sang nenek kembali ditolak. Si pemilik warung terlihat waspada dan 'menginterogasi' si nenek, curiga si nenek adalah penipu. Berikutnya di sebuah rumah sederhana, sang nenek kembali ditolak, bahkan dengan kasar.

Sampai akhirnya sang nenek bertemu dengan seorang lelaki setengah baya pengecer minyak tanah yang sedang mengisi stok minyak di sebuah warung. Seorang lelaki yang gigih. Kerasnya kehidupan tampak jelas tergurat di wajahnya yang hitam berpeluh. Namun wajah itu terlihat ramah dengan senyum. Seperti sebelumnya, tanpa basa basi, sang nenek menghampiri dan meminta minyak tanah kepada si penjual itu. Si penjual minyak tanah tampak sabar dan tekun menyimak penjelasan si nenek. Selesai sang nenek bercerita, tanpa berkata apa-apa, si penjual minyak langsung mengambil jerigen si nenek dan mengisinya. Tetap dengan wajah ramahnya. Tak ada sedikitpun rona kecurigaan,apalagi pertanyaan-pertanyaan 'interogasi'. Bahkan ketika sang nenek 'ngelunjak' meminta kompor bututnya diperbaiki pula, si penjual minyak tetap melayaninya dengan ramah. Tak ada sedikitpun perubahan rona di wajahnya.
Benar-benar tulus, tanpa prasangka!

Jadilah si penjual minyak 'pemenang' di acara tersebut. Ketika berikutnya sang pemenang diwawancara, semakin terkuaklah 'mutiara' itu. Pengecer minyak tanah itu ternyata cacat. Slamet, lelaki setengah baya itu, terlahir dengan kedua kaki yang cacat dan sebelah mata buta!. Setiap hari ia mencari nafkah berjualan minyak berkeliling perumahan, keluar-masuk kampung,menyusuri jalan raya, dengan sebuah sepeda tua yang dikayuh dengan sebelah tangannya!

Dan mengalirlah kemudian kisah tentang sebuah ketegaran jiwa, ketulusan menjalani garis hidup, kegagahan menghadapi kerasnya ombak zaman, dari seorang Slamet. Dan wawancara diakhiri dengan sebuah kalimat yang begitu menggetarkan dari Slamet, "Saya percaya Tuhan itu Maha Adil".
Seketika itu, runtuhlah semua kesombongan diri, hancur berkeping diterjang gelombang kesederhanaan. Musnah semua arogansi intelektualitas, tenggelam dalam kebeningan perasaan. Lepas segala ambisi dan nafsu duniawi, jatuh tersungkur di hadapan ketulusan seorang hamba, hamba yang begitu tulus menjalani hidupnya. Dengan semua ujian hidup yang begitu berat, dia tetap tersenyum ramah kepada siapapun, menolong semua tanpa membeda-bedakan walau hanya dalam batas kemampuannya, tak ada iri dan dengki terhadap sekelilingnya yang hidup jauh lebih beruntung, dan dengan ikhlas berkata: Tuhan Maha Adil!.

Saya tergugu.
Betapa buruknya kita di hadapan seorang Slamet.
Kita yang intelek dan terpandang, dipenuhi dengan berbagai nikmat, namun masih merasa tidak cukup. Seringkali protes ketika hanya mendapat sebuah ujian. Menjadi bebal dan keras hati oleh berlimpahnya materi dan kedudukan.

Hati yang tulus dan lembut masih ada bahkan banyak, bertebaran memenuhi persada. Memeliharanya memang sulit namun bukan sesuatu yang mustahil. Dunia yang keras dan culas tidak cukup menjadi alasan bagi kita untuk menumpulkan dan membekukannya. Karena kebaikan dan kelembutan hati bukanlah suatu hal bodoh dan sia-sia dalam dunia yang bergetah ini.
Terima kasih Mas Slamet!

Sumber: Unknown

Read More......

Feb 9, 2006

Tangisan Untuk Adik

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!" Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi.
Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Dipertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi." Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11. Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi.
Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik,hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku." Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini." Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang.
Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga. Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..." Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis.
Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.
Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?" Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!" "Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku.
Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku." Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya." Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

Audry

Read More......

Feb 4, 2006

Kisah Pohon Apel

Suatu ketika, hiduplah sebatang pohon apel besar dan anak lelaki yang senang bermain-main di bawah pohon apel itu setiap hari. Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, tidur-tiduran di keteduhan rindang daun-daunnya. Anak lelaki itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.

Waktu terus berlalu. Anak lelaki itu kini telah tumbuh besar dan tidak lagi bermain-main dengan pohon apel itu setiap harinya.Suatu hari ia mendatangi pohon apel. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel itu. "Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak lelaki itu. "Aku ingin sekali memiliki mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya." Pohon apel itu menyahut, "Duh, maaf aku pun tak punya uang... tetapi kau boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Kau bisa mendapatkan uang untuk membeli mainan kegemaranmu." Anak lelaki itu sangat senang. Ia lalu memetik semua buah apel yang ada di pohon dan pergi dengan penuh suka cita. Namun, setelah itu anak lelaki tak pernah datang lagi. Pohon apel itu kembali sedih.

Suatu hari anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel sangat senang melihatnya datang. "Ayo bermain-main denganku lagi," kata pohon apel. "Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami membutuhkan rumah untuk tempat tinggal. Maukah kau menolongku?" "Duh, maaf aku pun tak memiliki rumah. Tapi kau boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu," kata pohon apel.Kemudian anak lelaki itu menebang semua dahan dan ranting pohon apel itu dan pergi dengan gembira. Pohon apel itu juga merasa bahagia melihat anak lelaki itu senang, tapi anak lelaki itu tak pernah kembali lagi. Pohon apel itu merasa kesepian dan sedih.

Pada suatu musim panas, anak lelaki itu datang lagi. Pohon apel merasa sangat bersuka cita menyambutnya. "Ayo bermain-main lagi deganku," kata pohon apel. "Aku sedih," kata anak lelaki itu. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar. Maukah kau memberi aku sebuah kapal untuk pesiar?" "Duh, maaf aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah." Kemudian, anak lelaki itu memotong batang pohon apel itu dan membuat kapal yang diidamkannya. Ia lalu pergi berlayar dan tak pernah lagi datang menemui pohon apel itu.

Akhirnya, anak lelaki itu datang lagi setelah bertahun-tahun kemudian. "Maaf anakku," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu.""Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki itu."Aku juga tak memiliki batang dan dahan yang bisa kau panjat," kata pohon apel."Sekarang, aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak lelaki itu. "Aku benar-benar tak memiliki apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua dan sekarat ini," kata pohon apel itu sambil menitikkan air mata."Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki."Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu.""Oooh, bagus sekali. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Mari, marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."Anak lelaki itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel itu sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air matanya.

Ini adalah cerita tentang kita semua. Pohon apel itu adalah orang tua kita.Ketika kita muda, kita senang bermain-main dengan ayah dan ibu kita. Ketika kita tumbuh besar, kita meninggalkan mereka, dan hanya datang ketika kita memerlukan sesuatu atau dalam kesulitan. Tak peduli apa pun, orang tua kita akan selalu ada di sana untuk memberikan apa yang bisa mereka berikan untuk membuat kita bahagia.
Anda mungkin berpikir bahwa anak lelaki itu telah bertindak sangat kasar pada pohon itu, tetapi begitulah cara kita memperlakukan orang tua kita.

Read More......

FRIENDS

LOVE starts with a SMILE , grows with a KISS , and ends with a TEAR.
DON'T cry over anyone who won't cry over you.

Good FRIENDS are hard to find, harder to leave, and impossible to forget. You can only go as far as you push.

ACTIONS speak louder than words. The HARDEST thing to do is watch the one you love, love somebody else.

DON'T let the past hold you back, you're missing the good stuff. LIFE'S SHORT. If you don't look around once in a while you might miss it.

A BEST FRIEND is like a four leaf clover, HARD TO FIND and LUCKY TO HAVE. Some people make the world SPECIAL just by being in it.

BEST FRIENDS are the siblings God forgot to give us. When it HURTS to look back, and you're SCARED to look ahead, you can look beside you and your BESTFRIEND will be there.

TRUE FRIENDSHIP "NEVER" ENDS. Friends are FOREVER.

Good friends are like STARS You don't always see them, but you know they are ALWAYS THERE.

DON'T frown. You never know who is falling in love with your smile. What do you do when the only person who can make you stop crying is the person who made you cry? Nobody is perfect until you fall in love with them.

Everything is okay in the end. If it's not okay, then it's not the end.

Most people walk in and out of your life, but onlyFRIENDS leave footprints in your heart.

Read More......